Suara Dari Hati Yang Masygul


Ada dua warisan yang bisa kita berikan kepada anak-anak kita. Satu adalah akar. Yang lain adalah sayap.
- Hodding Carter Jr.


Sehari setelah aku dan Will kembali dari perjalanan kami, Kathy meminta anak-anak untuk duduk bersama kami di meja luar dekat kolam renang. Pepohonan pinus dan pohon merah (tumbuh di California) yang menjulang tinggi mengelilingi rumah kami, dan daerah di dekat kolam merupakan tempat yang sering kali kugunakan untuk bermeditasi. Bagiku, inilah tempat di mana aku dapat menjadi cukup tenang untuk berbicara, sehingga Kathy dan aku dua-duanya merasa segan. Anak-anak duduk di bangku yang berseberangan.

"Kami mau menyampaikan sesuatu yang tidak akan enak didengar," aku memulai. Cheryl menundukkan kepalanya, tidak ingin Will tahu bahwa ia telah lebih dahulu mengetahuinya.

Aku merasakan ketidaknyamanan itu dan dengan pendekatan ragu-ragu bergurau.

"Bukan, kami tidak akan bercerai; kalian tetap bersama kami." Tak ada seorang pun tertawa.

"Sebelum bepergian, aku didiagnosis kanker pada esofagus"

Kathy mulai melelehkan air mata, tetapi aku melihat dia menampilkan diri dengan wajah dokternya-yang bersifat mendukung dalam mendengarkan berita-berita buruk. Sekalipun mengetahuinya, Cheryl tetap duduk dan tak mampu mengatakan sesuatu pun. Will menunduk dan bertanya, "Apakah itu berarti engkau akan mati?"

"Aku tak tahu," kataku, sambil tetap menahan air mataku dan menatap wajah pemuda manis yang sedih yang sangat ku cintai. "Aku akan harus menjalani pengobatan dan mungkin pembedahan." Aku merasa perlu bersikap jujur. "Kanker ini bukan termasuk tipe kanker yang baik, namun aku akan melakukan apa pun agar aku tetap berada di sini. Tinggal bersama kalian."

"Aku tahu ada sesuatu yang tak beres selama kita berada di Los Angeles," katanya.

Tidak ada sesuatu lagi yang dapat kami katakan. "Kumi mencintai kalian berdua, dan kita akan melaluinya bersama-sama." Kathy menambahkan, "Kita masih tetap akan pergi ke Inggris, Ayah sungguh ingin melakukan perjalanan ini."

Aku tahu Kathy tidak ingin pergi ke Inggris; ia ingin agar aku menuntaskan pemeriksaan kanker dan langsung memulai proses pengobatannya. Bisa jadi perjalanan ini merupakan yang terakhir kali bagi keluarga kami, dan aku tak ingin melewatkannya. Aku akan segera mati, mengapa tidak bersenang - senang dengan orang-orang yang sangat kucintai selama dua minggu?

Will minta izin untuk pergi ke kamarnya. Aku bangun dan memeluknya, tetapi dengan tenang ia bergerak pergi.

Cheryl tetap tinggal dan menanyakan beberapa pertanyaan mengenai pengobatan dan seandainya aku mati.

"Ada 90 persen kemungkinan bahwa aku mungkin saja mati, namun ada kesempatan 10 persen bahwa aku akan tetap hidup. Kita tidak mau tahu sampai kita mengetahuinya. Kami tersenyum dan berangkulan dan kemudian ia menyarankan diadakan pesta kemoterapi di mana orang dapat membawakan aku rambut palsu dan DVD untuk ditonton. Pada saat itulah aku tahu bahwa aku memiliki seseorang untuk menertawakan semua hal ini. Will belum sampai memahami dan Kathy terlampau takut kehilangan aku, namun Cheryl dapat membuat bahan humor. Aku memerlukannya sekarang, lebih dari kapan pun.

Sepuluh menit kemudian, Will datang dari kamarnya dan mengatakan bahwa ia akan menemui Dana temannya. Ia tidak bisa memahamiku. Aku merasa remuk redam, tetapi tak bisa melakukan apa-apa. Aku tak berdaya. Aku senang dia mempunyai teman, Dana, untuk diajak bicara.

Cheryl dan aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan. Aku memerlukan sedikit waktu untuk menjaga keadaan normal, dan nyaris tak ada yang bisa kunikmati lebih daripada berjalan-jalan melintasi bukit-bukit di sekeliling kota kami.

"Apakah ayah akan memberitahu seseorang?" tanya Cheryl.
"Belum; kita tunggu saja sampai kita kembali dari Inggris. Aku ingin menikmati perjalanan dan belum sebagai 'pengidap kanker."

Kami terus berbicara tentang makna semua peristiwa ini: pekerjaanku, hidupku, apa kemoterapi itu, dan pengobatan lain yang barangkali tersedia. Cheryl adalah seorang guru kelompok bermain pada sebuah sekolah Montessori dan sangat kaya akan cerita tentang anak-anak. "Astaga, Ayah, cewek baru ini miniatur diriku. Ia keturunan Asia dan sangat lucu. Sangat menarik untuk diperhatikan." la menceritakan tentang anak-anak yang keburu buang air, bukan di toilet dan anak-anak yang sedang belajar bagaimana menuturkan, mengeja kata-kata yang baru. Cerita-cerita itu mengingatkan aku bagaimana dulu Cheryl mengucapkan kata window sebagai seorang anak "windones." Kami tak pernah berniat membetulkannya. Kedengarannya sangat lucu. Kami menertawakan bagaimana Will dulu mengucapkan "pachegets" (package) di dalam surat atau bagaimana ia menyukai warna "lellow." Semua cerita ini adalah tentang hidup dan belajar, dan itulah yang kubutuhkan.

Saat berjalan menyusuri jalanan kotor hutan perbukitan di atas kota, kami melihat seekor ular derik di samping lajur jalan yang kami lalui, meregang dan menjulurkan lidahnya. Ular derik bukannya sesuatu yang asing di daerah kami, tetapi melihatnya di siang bolong merupakan kejadian yang jarang Sangat mungkin ular itu sakit, tetapi kami berdua tak ingin mendekat karena takut digigit. Cheryl dan aku memperhatikannya selama beberapa menit.

"Ular itu adalah obat yang mujarab," kataku. Dalam khazanah tradisi Amerika Asli, ular adalah pembawa obat, pembawa kesembuhan.

Cheryl dan aku menafsirkannya sebagai pertanda bagus untuk kesehatanku. Kami berdua sama-sama mencari peneguhan bahwa sakit kankerku hanyalah salah satu dari banyak tanjakan dalam hidup kami bersama dan bukan satu-satunya pengalaman yang perlu ia ingat atau sampaikan kepada anak anaknya ketika ia mengenangkan ayahnya.

Will pulang ke rumah setelah beberapa jam mengunjungi temannya, Dana. Ia kelihatan tenang. Kami berdiri di dapur dan berbincang.

"Kamu baik-baik saja, kan?" aku bertanya, tahu bahwa aku hanya akan mendapatkan jawaban pendek.
"Yah."
"Kamu ingin bicara?"
"Apakah Ayah akan segera mati?" dia bertanya, tapi tak ingin mendengarkan jawaban.

Aku merasa seakan-akan aku harus memutar jawabanku ke arah yang membangkitkan harapan. Sebagai seorang dokter, aku telah melakukan hal semacam ini banyak kali bersama pasien sehingga jawabannya muncul dengan mudah. "Ada kemungkinan aku akan mati karena kanker ini, namun jika aku memang harus begitu, sekurang-kurangnya untuk sementara takkan terjadi. Kamu tahu bahwa aku mengenal dokter-dokter terbaik di atas planet ini dan aku akan memperoleh pengobatan terbaik."

"Oke, aku sayang Ayah." Kemudian ia masuk ke kamarnya, menghabiskan hampir semalaman berbicara dengan teman temannya melalui telepon.

Pada saat itu, aku merasakan kasih dan ketakutannya serta merasakan benang yang tak terlihat yang mengikat orangtua dan anak menjadi kendur sejenak. Putraku rupanya sedang berlatih menghadapi kematianku dan perlu mengambil jarak, pergi dariku, kepada kehidupan. Ketidakberdayaan menjadi suatu perasaan yang seharusnya kupelajari agar menjadi terbiasa dalam beberapa bulan mendatang.

Tugas berat berikutnya adalah menelepon orangtuaku dan menyampaikan berita tentang penyakitku kepada mereka Mereka tinggal tiga ribu mil jauhnya dariku. Aku tak memiliki pilihan lain.

Orangtuaku berada pada usia awal delapan puluhan tahun dan syukurlah, sangat sehat. Mereka adalah orang yang aktif. mereka bepergian, dan mereka sungguh menikmati kehidupan mereka bersama. Di sekolah kedokteran, kami diberitahu bahwa tantangan hidup yang paling sulit adalah menghadapi kematian anak. Aku selalu beranggapan bahwa tantangan ini hanyalah menyangkut kehilangan anak-anak yang masih muda usianya. Aku berusia lima puluh tiga tahun. Dan ada orang yang mati pada usia lima puluh tiga tahun. Kubayangkan mereka akan merasa sedih namun takkan sampai keterlaluan Ternyata aku tidak benar.

"Ayah, dapatkah aku bicara dengan Ibu lewat telepon?"
"Tentu saja, Nak. Apakah ada yang tidak beres?" Ayahku berulang kali mengatakan hal ini. la cenderung berasumsi yang paling pahit dahulu. Namun, pada saat ini barangkali ia benar adanya.

"Ada sesuatu yang perlu aku sampaikan kepada Ayah dan Ibu, tolong segera sambungkan Ibu."

Kemudian ibuku menyahut di telepon. "Hai, ada apa?"

"Dengar ya, Bu, aku mengalami kesulitan menelan pada minggu lalu, kemudian aku melakukan endoskopi." Ayahku seorang dokter gigi dan ibuku sedikit tahu tentang dunia obat-obatan, maka aku dapat menggunakan istilah-istilah medis yang sesuai.

"Ternyata hasilnya, aku mengidap kanker di esofagus." Aku berhenti sejenak, menanti respons.

Ayahku beralih ke nada profesional. "Apa itu artinya? Apa kah sudah menyebar?"

"Aku belum memperoleh hasil lengkapnya. Jika dilokalisasi, mungkin bisa dilakukan operasi, yang sifatnya kuratif. Jika tidak, berarti harus dilakukan kemoterapi dan radiasi." Aku mencoba kedengaran datar dan biasa-biasa saja.

Dari ujung telepon aku mendengar dengusan sesenggukan dari ibuku. Ayahku tetap tegar sebagai profesional. "Kapan kamu tahu hasil lengkapnya?"

"Kami akan pergi berdarmawisata ke Inggris. Aku akan menyelesaikan seluruh pemeriksaan sepulang kami dari Inggris."

"Kamu mau pergi ke Inggris?" sahut ibuku dengan nada putus asa.

"Ya, mungkin sekali perjalanan itu menjadi terakhir kali kesempatan melakukan wisata bersama keluarga, dan aku tak ingin melewatkannya. Penundaan dua minggu takkan mengubah sesuatu pun." Kalau ingat akan hal ini, kata-kata ini mungkin bukan hal yang tepat untuk disampaikan. Aku mendengar sesenggukan dan sedu sedan dari ayah dan ibuku keduanya.

Aku linglung, kurenungkan. Tidak sepantasnya aku berkata seakan-akan kepergian kami menjadi perjalanan keluarga yang terakhir. Tetapi itulah kenyataannya, dan aku tak bisa mengubah kebenaran itu.

Setelah beberapa lama berbicara dengan dipaksakan, orangtuaku mengatakan bahwa mereka akan menelepon lagi. Kuletakkan gagang telepon, dan Kathy bertanya kepadaku bagaimana pembicaraan kami tadi.

"Nggak bagus. Aku pikir tak peduli berapa pun umur anak kita, kehilangan anak tetaplah mengerikan."

Apa yang tak bisa dimengerti orangtuaku adalah bahwa aku merasa tidak bermasalah. Aku tidak pergi ke Inggris karena perjalanan itu akan menjadi perjalanan keluarga yang terakhir kali; aku akan pergi ke Inggris karena aku ingin bersenang-senang, aku tetap ingin menikmati hidup kendati sakit kanker. dan aku masih tetap menjalani hidup sepenuh-penuhnya.


Untuk Bab Lengkapnya silakan beli buku Enjoy Every Sandwich - NIKMATI HIDUP SETIAP HARI SEOLAH HARI TERAKHIR KITA di toko buku langganan kamu

Informasi Buku

Judul Nikmati Hidup Setiap Hari Seolah Hari Terakhir Kita
Penulis Lee Lipsenthal, M.D
No. ISBN 9789792280104
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit Maret - 2012
Jumlah Halaman 230 Halaman
Kategori Pengembangan Diri

Tidak ada komentar: